
Syarat Sah Perjanjian Asuransi dan Dasar Hukumnya di Indonesia
Layaknya jual beli barang, asuransi juga memiliki kesepakatan antara penanggung dan tertanggung dalam polis. Kesepakatan ini terangkum dalam sebuah perjanjian asuransi.
Nggak cuma asal bikin, perjanjian asuransi memiliki dasar hukum dan syarat sah yang jelas dan tertulis, lho. Jadi kalau ada pihak yang dengan sengaja berniat âjahatâ, ada sanksi hukumnya.
Selain dasar hukum dan syarat sah menurut hukum negara, ada pula dasar hukum dan syarat sah asuransi yang berdasarkan asas Islam atau sistem syariah.
Untuk tahu lebih lengkapnya, simak ulasannya berikut ini!
Syarat sah perjanjian asuransi Indonesia
Perjanjian asuransi akan berlaku jika syarat sah dilaksanakan dengan baik dan sesuai oleh kedua belah pihak. Beberapa syarat sah perjanjian asuransi berdasarkan hukum negara Indonesia, yaitu:
1. KesepakatanÂ
Kesepakatan adalah pemahaman yang sama melalui perjanjian antara tertanggung dan penanggung asuransi. Kesepakatan dapat meliputi:
- Benda atau objek asuransi.
- Pengalihan risiko dan pembayaran premi.
- Evenemen dan ganti kerugian
- Syarat-syarat khusus asuransi
- Dibuat secara tertulis yang disebut polis.
Perjanjian dapat dilakukan secara langsung oleh kedua belah pihak (tertanggung dan penanggung langsung) atau melalui perantara (pialang/makelar).
Kesepakatan harus dibuat secara bebas yang berarti tidak berada di bawah pengaruh, tekanan, atau paksaan pihak tertentu.
Kedua belah pihak sepakat menentukan syarat-syarat perjanjian asuransi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. KewenanganÂ
Kedua pihak memiliki kewenangan berbuat dengan sifat subjektif dan objektif. Subjektif berarti kedua pihak sudah dewasa, sehat ingatan, tidak berada di bawah perwakilan (trusteeship), dan pemegang kuasa yang sah.
Objektif berarti tertanggung mempunyai hubungan sah dengan benda objek asuransi karena benda tersebut adalah kekayaan miliknya sendiri.
3. Objek tertentu
Objek tertentu adalah objek yang diasuransikan berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan atau berupa jiwa atau raga manusia.
Identitas objek asuransi haruslah jelas. Jika berupa harta kekayaan, apa jenisnya, berapa jumlah dan ukurannya, di mana letaknya, apa mereknya, buatan mana, berapa nilainya, serta sebagainya.
Apabila berupa jiwa atau raga atas nama siapa, berapa umumnya, apa hubungan keluarganya, di mana alamatnya, dan sebagainya.
4. Kausa yang halalÂ
Kausa yang halal adalah isi perjanjian asuransi tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan.
5. Pemberitahuan
Tertanggung wajib memberitahukan kepada penanggung mengenai keadaan objek asuransi pada saat mengadakan asuransi.
Apabila tertanggung lalai, akibat hukumnya adalah asuransi batal. Kewajiban pemberitahuan juga berlaku jika setelah diadakan asuransi terjadi pemberatan risiko atas objek asuransi.
Syarat sah perjanjian asuransi syariah
Dalam asuransi syariah, syarat sah tidak hanya menaati peraturan yang telah ditetapkan hukum negara Indonesia, tetapi juga harus memperhatikan aspek syariah yang telah diatur Fatwa MUI dan hukum-hukum fiqih yang telah ditetapkan para imam mazhab.
Syarat sah akad ada lima macam, yaitu:
- Tidak ada paksaan.
- Tidak menimbulkan kerugian (darar).
- Tidak mengandung ketidakjelasan (garar).
- Tidak mengandung riba.
- Tidak mengandung syarat Fasid.
Jika syarat ada dan syarat sah akad telah terpenuhi, akad tersebut tergolong akad yang sah. Akad sah dapat dibedakan lagi berdasarkan kekuatan hukumnya, yaitu:
- Akad Mauquf: akad yang tergantung kepada izin pihak ketiga, misalnya wali dalam kasus akad yang dibuat anak dibawah perwaliannya.
- Akad Nafis: akad yang di dalamnya masih terdapat khiyar salah satu pihak.
- Akad lazim: tidak lagi tergantung pada izin pihak ketiga atau mengandung unsur khiyar salah satu pihak.Â
Ada pula delapan asas yang mendasari akad secara umum sebagai dasar perlindungan dan jaminan, yaitu:
- Rela sama rela (ridhaâiyyah).
- Manfaat bagi kedua pihak.
- Keadilan dalam arti yang luas.
- Saling menguntungkan.
- Kebebasan berkontrak.
- Kepastian hukum.
- Itikad baik dalam berbisnis.
- Tradisi ekonomi masyarakat.
Dasar hukum asuransi Indonesia
Sebagai pedoman utama, ada beberapa dasar hukum yang mengatur pelaksanaan sistem perasuransian di Indonesia, antara lain:
1. UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UU asuransi lama)
Pengertian asuransi menurut UU No. 2 Tahun 1992 adalah perjanjian di antara dua belah pihak atau lebih yang mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung.
Bisa disebabkan kerugian, kerusakan, kehilangan, ataupun meninggal dunia.
Objek asuransi yang dimaksud adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya.
Beberapa hal yang membedakannya dengan UU asuransi baru, yaitu:
- Usaha konsultan aktuaria adalah bidang usaha perasuransian dengan izin yang diberikan menteri.
- Bentuk badan hukumnya adalah perusahaan perseroan (persero), koperasi, usaha bersama (mutual).
- Perusahaan asuransi yang didirikan Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia tidak diatur kepemilikannya. Dalam perusahaan patungan, status perusahaan asing sebagai induk perusahaan tidak diatur.
- Belum ada kejelasan mengenai aturan pencabutan izin usaha perusahaan asuransi dan reasuransi.
2. UU No. 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian (UU asuransi baru)
Pengertian asuransi menurut UU No. 40 Tahun 2014 adalah perjanjian di antara dua belah pihak, yaitu perusahaan asuransi dengan pemegang polis, yang menjadi dasar atau acuan bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi dengan imbalan untuk:
- Memberi penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, ataupun tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga.
- Memberikan pembayaran jika meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidup si tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan.
Beberapa hal yang membedakannya dari UU asuransi lama, yaitu:
- Konsultan aktuaria adalah profesi penyedia jasa bagi perusahaan asuransi dan harus terdaftar di OJK.
- Bentuk badan hukumnya adalah perseroan terbatas (PT), koperasi, dan usaha bersama.
- Perusahaan asuransi yang didirikan Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia harus dimiliki WNI secara langsung ataupun tidak langsung. Pihak asing harus menjadi perusahaan induk.
- Maksimal 30 hari sejak tanggal dicabutnya izin usaha, perusahaan asuransi, dan reasuransi harus menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk memutuskan pembubaran badan hukum.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 1320 dan Pasal 1774
Asuransi mengandung perjanjian antara dua belah pihak, didalamnya ada ruang lingkup pidana, sehingga segala sesuatu yang terkait di dalamnya bisa dibawa ke ranah hukum pidana.
4. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Bab 9 Pasal 246
Dasar hukum ini menjelaskan tentang jenis pertanggungan asuransi, batas maksimal pertanggungan, proses klaim yang berlaku, penyebab batalnya proses pertanggungan, hingga bagaimana pertanggungan dinyatakan secara tertulis dalam dokumen polis.
5. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 1992
Peraturan ini mengatur penyelenggaraan usaha perasuransian dalam rangka mendorong pertumbuhan nasional. Perusahaan asuransi harus berprinsip sehat dan bertanggung jawab dalam pelaksanaanya.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999
Peraturan ini merupakan revisi dari PP Nomor 73 Tahun 1992, yang membahas penyelenggaraan perasuransian. Perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan peraturan dan regulasi yang ada dengan perubahan zaman.
Dasar hukum asuransi syariahÂ
Memang tidak dapat dipungkiri, ada beberapa hal dalam sistem asuransi konvensional yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Sebab menyangkut keyakinan, banyak masyarakat muslim di Indonesia akan lebih mempercayakan segala sesuatunya berdasarkan hukum syariah.
Sebagai pedoman utama dalam kehidupan, dasar hukum asuransi syariah sudah tentu berdasarkan Al Qurâan dan Hadits.
Selain itu, ada pula dasar hukum lain yang mendukung, seperti Fatwa MUI dan Peraturan Menteri Keuangan. Simak penjelasannya berikut ini!
1. Dasar hukum Al Qurâan dan Hadits
Beberapa surat dan ayat dalam Al Qurâan serta Hadits yang memiliki keterkaitan dalam pelaksanaan asuransi syariah adalah:
Al-Ma’idah Ayat 2
âDan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.â
An Nisaâ Ayat 9Â
âDan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya.
Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.â
Hadits riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi
âPerjanjian itu boleh bagi orang Islam kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram dan orang Islam itu wajib memenuhi syarat-syarat yang mereka kemukakan kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.â
Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra
âBarangsiapa yang melepaskan dari seorang muslim suatu kesulitan di dunia, Allah SWT akan melepaskan kesulitan darinya pada hari kiamat dan Allah SWT senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya.â
2. Fatwa MUI
Sebagai organisasi yang menjadi wadah berkumpulnya para ulama, zuama, dan cendekiawan Islam, MUI mengusung tugas besar untuk membimbing dan membina umat di Indonesia.
Fatwa MUI adalah keputusan atau pendapat yang diberikan MUI tentang masalah-masalah hukum yang muncul dalam kehidupan umat Islam.
Beberapa fatwa MUI yang menguatkan kehalalan asuransi syariah, yaitu:
- Fatwa No 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah.
- Fatwa No 51/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah.
- Fatwa No 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah.
- Fatwa No 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru pada Asuransi Syariah.
3. Peraturan Menteri Keuangan
Asuransi syariah juga sudah diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah.
Beberapa pasal yang terdapat dalam PMK mengenai asuransi syariah, yaitu:
- Pasal 1 Nomor 1: Asuransi berdasarkan prinsip Syariah adalah usaha tolong-menolong (taâawuni) dan melindungi (takaful) di antara para nasabah melalui pembentukan kumpulan dana (tabbaruâ) yang dikelola dengan prinsip syariah untuk menghadapi risiko tertentu.
- Pasal 1 Nomor 2: Perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi adalah pihak yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah.
- Pasal 1 Nomor 3: Nasabah adalah orang atau badan yang menjadi nasabah program asuransi dengan prinsip Syariah, atau perusahaan asuransi yang menjadi nasabah reasuransi dengan prinsip syariah.
Apa itu perjanjian asuransi?
Perjanjian asuransi adalah kesepakatan yang mengatur hak dan kewajiban penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung (nasabah asuransi).
Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan definisi asuransi sendiri yaitu sebuah perjanjian di mana penanggung bersedia menanggung risiko yang mungkin akan menimpa tertanggung.
Dengan syarat, tertanggung juga harus membayar premi kepada penanggung.Â
Sebagai sebuah perjanjian dan kesepakatan, asuransi jelas bersifat mengikat, timbal balik (kedua belah pihak), dan memiliki syarat-syarat tertentu.
Di Indonesia, ada dua sistem asuransi, yaitu konvensional dan syariah. Kedua sistem ini pun memiliki prinsipnya berdasarkan keyakinan yang dimiliki masyarakat.
Beberapa prinsip asuransi konvensional, yaitu:
- Ada kepentingan yang diasuransikan.
- Memiliki itikad baik.
- Kausa proximal.
- Ganti rugi.
- Pengalihan hak atau perwalian.
- Kontribusi untuk proteksi.
- Membantu memperkecil risiko.
Sementara beberapa prinsip asuransi dengan sistem syariah, yaitu:
- Tauhid.
- Mengutamakan keadilan.
- Tolong menolong.
- Kerjasama tertanggung dan penanggung.
- Dilandasi amanah.
- Saling ridha/rela/ikhlas.
- Menghindari riba, bertaruh dan gharar.
- Menjauhi praktik suap menyuap.
Mengapa asuransi penting?
Baik konvensional maupun syariah, asuransi tetap memiliki peran penting dalam kehidupan. Asuransi dapat menjadi proteksi atau perlindungan terbaik jika terjadi risiko atas kerugian dan kehilangan dari objek asuransi.
Asuransi juga akan memberikan rasa aman dan ketenangan kepada tertanggung ketika musibah yang tidak terduga terjadi.
Maksudnya rasa aman dan ketenangan di sini terkait dengan perlindungan finansial. Asuransi menawarkan pertanggungan biaya atas kerugian-kerugian yang diakibatkan risiko-risiko tertenu.
Misalnya, asuransi jiwa menawarkan manfaat uang pertanggungan sebagai warisan apabila nasabah mengalami risiko yang dipertanggungkan.
Asuransi kesehatan menawarkan manfaat penggantian biaya pengobatan di rumah sakit hingga limit tertentu.
Sementara asuransi mobil menawarkan manfaat pertanggungan biaya perbaikan kendaraan akibat risiko-risiko semisal kecelakaan.
Singkatnya, manfaat asuransi meminimalkan kerugian finansial akibat risiko-risiko yang dipertanggungkan.
FAQ
Apa yang dimaksud perjanjian asuransi?
Perjanjian asuransi adalah kesepakatan yang mengatur hak dan kewajiban penanggung (perusahaan asuransi) dan tertanggung (nasabah asuransi).
Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan definisi asuransi sendiri, yaitu perjanjian yang mana penanggung bersedia menanggung risiko yang mungkin akan menimpa tertanggung.
Dengan syarat, tertanggung juga harus membayar premi kepada penanggung.
Apa saja dasar hukum asuransi syariah?
Sebagai pedoman utama dalam kehidupan, dasar hukum asuransi syariah sudah tentu berdasarkan Al Qurâan dan Hadits.
Namun, selain itu, ada pula dasar hukum lain yang mendukung seperti Fatwa MUI dan Peraturan Menteri Keuangan.
Apa itu evenemen?
Evenemen adalah sebab dan kerugian jika sudah dipastikan. Evenemen yang terjadi itu dijamin polis dan menimbulkan kerugian serta penanggung terikat untuk membayar ganti kerugian.